Sadarkah kamu jika manusia hidup dari egoisme. Sering berkedok lebih mementingkan orang lain, padahal demi dirinya sendiri. Terlepas dari apapun hal positif yang kamu lakukan, bukankah ada sesuatu yang kamu harapkan setelah melakukannya? Entah itu materi, entah itu pahala, entah itu perasaan senang atau entah-entah yang lainnya. Sesuatu yang wajar ketika kamu membenarkan opini tersebut.
Kita diajarkan menolong orang tanpa mengharapkan sesuatu, tanpa pamrih. Namun ketika kita menolong seseorang, secara tidak sadar kita berharap bahwa orang tersebut terbantu atas apa yang kita lakukan. Dan ada perasaan yang tidak dapat dijelaskan ketika kita bisa membantu orang lain. Entah itu senang ataupun terharu. Dengan kata lain kita melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu bukan? Tak ada yang namanya tanpa pamrih, manusia pasti mengharap pamrih.
Sadarkah kamu jika manusia tidak pernah merasa cukup. Rasa puas yang tak pernah puas akan terus menggerogoti kerongkongan. Tujuan demi tujuan yang sudah tercapai akan digantikan oleh tujuan baru yang lebih besar. Harapan demi harapan yang sudah terpenuhi, akan digantikan oleh harapan baru yang lebih hebat.
Tak perlu repot-repot menyangkal, karena tanpa sadar manusia memang hidup dari harapan. Harapanlah yang menghidupkan kita. Berharap hari ini lebih baik dari hari kemarin, berharap hari esok lebih baik dari hari ini, berharap punya ini, punya itu, dan harap-harap yang lainnya.
Ketika manusia tak lagi memiliki harapan, tak ada lagi yang tersisa dari dirinya kecuali kehampaan. Namun ketika manusia terlalu tinggi meletakkan harapan, maka ia harus menyiapkan diri untuk masuk kedalam lubang kecewa yang sebanding. Karena ketika harapan itu tak terkabulkan, maka berlakulah rusmusan bahwa “tingginya harapan berbanding lurus dengan dalamnya rasa kecewa”. Jadi hiduplah dengan secukupnya, walaupun manusia tak pernah merasa cukup.