Surat untuk Ibu Pertiwi, dari aku yang telah bertemu februari sebanyak 17 kali.
Hai Ibu Pertiwi…
Bagaimana kabarmu kali ini? Kulihat banyak darimu yang ingin dikuasai. Apa lagi tahun ini dimulainya pesta demokrasi. Banyak dari mereka yang menyebar opini demi dukungan pribadi. Entah mengapa ku bertanya melihat situasi kini. Padahal dulu Soekarno diajukan menjadi, bukan mengajukan diri memimpin negeri. Tapi kini mengapa mereka sangat ingin memimpin bangsa ini. Apakah rasa cinta tanah air mereka terlalu tinggi? Atau mungkin mereka punya alasan tersendiri?
Hai Indonesia…
Apa kabarmu setelah silih berganti nya bencana yang menerpa? Kulihat banyak dari mereka yang kehilangan keluarga. Tak sedikit dari mereka kehilangan harta benda. Bahkan tempat tinggal merekapun banyak dijadikan rata oleh semesta. Tak banyak yang bisa kuperbuat selain mengirimkan doa. Namun, meski dalam situasi duka, masih ada yang giat mengadu domba. Masih ada pencacian antar sesama. Padahal kita sama-sama berdiri di atas Bhineka Tunggal Ika.
Hai Tanah Airku…
Bukankah banyaknya keberagaman membuat kita lebih tahu warna warni kehidupan? Tapi mengapa masih ada ketidak adilan mengatasnamakan perbedaan? Haruskah kita mengubur keberagaman demi sebuah keseragaman? Kurasa kedua hal itu bisa saling beriringan. Apakah kita hanya akan melihat, ketika mereka ditindas oleh kaki-kaki keserakahan? Apakah kita hanya akan mendengar, janji-janji kehidupan yang dulu mereka ucapkan.
Acungkan kepalmu terhadap ketidakadilan kawan. Kalau bukan kita yang melawan, siapa lagi yang akan menyelamatkan Indonesia dari kehancuran?
(ditulis pada pertengahan tahun 2019)